Diduga Langgar Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 143 Tahun 2022. Koordinator Kabupaten Pendamping Lokal Desa (PLD) Lampung Selatan seakan lari dari Tanggungjawab.

Hal tersebut menyusul setelah terbitnya surat Pemindahan PLD di Kabupaten Lampung Selatan awal tahun 2025 lalu dengan Nomor: 432/SPMT-TPP/PPK-VII/P3MD/V/2025, yang dinilai bertentangan dengan aturan resmi, menabrak prinsip penempatan berdasarkan domisili sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 143 Tahun 2022.

Berdasarkan informasi dan fakta dilapangan, beberapa PLD dipindahkan ke Wilayah Kecamatan lain yang berjarak lebih dari 60 hingga 100 kilometer dari tempat tinggal mereka.

Menurut kesaksian beberapa pendamping, perpindahan ini tidak hanya menyulitkan secara logistik dan finansial dengan honor di bawah UMR tetapi juga mempersulit efektivitas mereka dalam menjalankan tugas.

“Saya harus menempuh dua jam perjalanan setiap hari melewati jalur perkebunan dan jalan rusak. Padahal domisili saya jelas masih dalam satu kecamatan yang butuh pendampingan juga,” kata seorang PLD yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Padahal secara aturan, penempatan pendamping desa telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Kepmendes 143/2022.

“Penempatan TPP dilakukan dengan mempertimbangkan domisili sesuai dengan kebutuhan wilayah pendampingan.”

Dengan kata lain, prinsip dasar penugasan adalah kedekatan tempat tinggal pendamping dengan wilayah kerja. Jika pun terdapat lebih dari satu TPP dalam satu wilayah, pemilihan selanjutnya harus didasarkan pada kinerja, pengalaman, dan kemampuan sosial sebagaimana dijelaskan dalam ayat (2) pasal yang sama.

Namun, dalam kasus yang ada di Kabupaten Lampung Selatan ini, PLD yang memenuhi syarat domisili justru dipindahkan ke wilayah lain tanpa pertimbangan terbuka.

Hal ini memunculkan kesan bahwa relokasi dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan teknis, tetapi atas dasar non-substansial yang belum dijelaskan secara publik.

Sementara itu, Abdi Timur selaku Koordinator Kabupaten (Korkab) PLD Lampung Selatan, memilih bungkam dan enggan menjelaskan secara detail berkenan dengan persoalan yang terjadi, dan Abdi Timur menyebut bahwa ia hanya menjalankan perintah untuk mencatat tanggapan para PLD dari Koordinator TAPM Provinsi Lampung, hal tersebut disampaikan oleh Abdi Timur dalam rapat koordinasi pada Kamis (10 Juli 2025).

Meski demikian, sejumlah PLD menyebut bahwa praktik di lapangan menunjukkan usulan relokasi sering kali disusun di tingkat Kabupaten, lalu dinaikkan sebagai bagian dari laporan Provinsi.

Hal ini membuat banyak pihak curiga bahwa relokasi yang tampak formal ini justru dijadikan pintu masuk untuk menyingkirkan pendamping lama, dengan membuka jalan bagi rekrutmen baru.

Lebih jauh, mencuat pula isu rekrutmen berbayar, yang disebut sudah terdengar sejak awal tahun melalui jalur informal dan Group WhatsApp. Dugaan keterlibatan oknum TAPM Kabupaten dalam praktik ini masih simpang siur, namun beredar luas di kalangan TPP.

“Kalau benar relokasi ini bagian dari pengondisian rekrutmen baru, apalagi yang melibatkan uang, maka program pendampingan desa sudah kehilangan roh pemberdayaannya,” ujar seorang seorang PLD.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Desa PDTT dan BPSDM, belum memberikan pernyataan resmi. Sementara itu, para pendamping mendesak agar evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan relokasi dilakukan secara transparan, termasuk penyelidikan atas dugaan relokasi yang melanggar prinsip domisili dan indikasi rekrutmen berbasis transaksi.

Jika prinsip keadilan, efektivitas, dan akuntabilitas dalam pendampingan masyarakat desa diabaikan, maka bukan hanya para pendamping yang menjadi korban, tetapi juga desa-desa yang kehilangan pendamping berkualitas karena sistem yang tidak berpihak.

“Relokasi semestinya alat penyesuaian kebutuhan lapangan, bukan senjata untuk menyingkirkan yang tak sepakat atau tak sanggup bayar”. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *