Ranau, — Dari tepian Danau Ranau yang tenang, lahir sebuah doa yang dituangkan bukan lewat kata-kata, melainkan melalui goresan warna. Doa itu datang dari seorang seniman berbakat Ranau, Rahmad Saleh, yang mengabadikannya dalam sebuah lukisan mural bertajuk “Pray For Sumatera.”
Lukisan tersebut menjadi gambaran cinta sekaligus kepedihan: cinta akan kekayaan alam Sumatera yang megah, dan kepedihan melihatnya terluka oleh bencana. Melalui karya itu, Rahmad ingin menyampaikan pesan bahwa keindahan alam tidak hanya untuk ditatap, tetapi juga dijaga.
Rahmad bukan pelukis yang lahir dari ruang studio mewah. Ia tumbuh di Simpang Sender, Danau Ranau, tempat kabut pagi menyelimuti bukit, air danau berkilau memantulkan langit, dan hutan menyimpan cerita-cerita tua. Ia lahir pada 15 Februari 1986, dari lingkungan yang menghargai alam sebagai bagian dari kehidupan, bukan sekadar pemandangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai anak Ranau, ia tumbuh dengan cerita para tetua tentang hutan larangan, ulu tulung (mata air), serta kawasan mesegik—tempat yang dianggap angker dan tak boleh dirusak. Nilai-nilai itu membentuk kesadaran ekologis Rahmad sejak kecil.
“Dulu nenek moyang kami menjaga alam dengan pantangan,” tuturnya. “Siapa yang melanggar, dipercaya akan kena tulah. Alam itu diberi hormat.”
Kini, ketika bencana menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, kenangan masa kecil itu kembali menegur hatinya. Dari sanalah muncul keinginan untuk melukis doa—sebuah seruan agar manusia kembali menghormati alam.
Mural “Pray For Sumatera” ia buat di dinding Klinik dr. Gilang Kasuma Putra, Simpang Sender. Pada bidang dinding itu, Rahmad memadukan dua wajah Sumatera: keindahan yang pernah begitu megah, dan luka yang kini menganga.
Di satu sisi, ia melukiskan perbukitan hijau, pepohonan rimbun, aliran sungai jernih, dan langit bersih—simbol kekayaan alam Sumatera dari Ranau hingga Leuser, dari Semangko hingga Toba.
Namun di sisi lain, ia sisipkan bayang-bayang bencana: air bah yang meluap, langit muram, dan manusia-manusia kecil yang sedang berdoa.
Lukisan ini tidak hanya mengajak berempati pada korban bencana, tetapi juga mengingatkan bahwa alam yang rusak akan kembali melukai manusia.
Karya Rahmad tak lahir dari ruang yang kosong. Ia adalah mantan aktivis kampus dan aktivis seni. Masa mudanya banyak dihabiskan di Kelompok Studi Seni FKIP Universitas Lampung, Divisi Seni Rupa dan Sastra. Ia beberapa kali berpameran di Bandar Lampung pada 2006, 2007, 2008, dan 2010, menunjukkan ketekunan yang jarang dimiliki seniman muda.
Di dunia teater, ia pernah menjadi penata artistik Komunitas Berkat Yakin (KoBer) asuhan Ari Pahala Hutabarat, menggarap pementasan “Rashomon” (Lampung, Padang, Pekanbaru, Bengkulu), “Pinangan”, “King Lear” (Taman Ismail Marzuki, 2018), hingga “Nusantara Amnesia” dan “Dayang Rindu.”
Bakatnya di sastra pun terbukti ketika ia meraih Juara 1 Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017 melalui puisi “Hikayat Buang Tondjam.”
Selain seni, Rahmad adalah pendaki alam. Ia menyusuri Pesagi, Seminung, dan Bukit Barisan Selatan—wilayah yang kini perlahan rusak oleh illegal logging dan eksploitasi tak bertanggung jawab. Dari perjalanan itu, ia belajar bahwa alam yang indah tidak selamanya kuat.
Kesadaran itulah yang kemudian menyatu dalam karya-karyanya.
Melalui mural “Pray For Sumatera,” Rahmad ingin mengingatkan bahwa kekayaan alam Sumatera adalah anugerah yang tak ternilai. Dari Danau Ranau yang membentang sunyi, hutan Bukit Barisan yang megah, sampai dataran tinggi Gayo dan lembah Minangkabau—semuanya adalah bagian dari keindahan yang layak dijaga.
Lukisan itu menjadi doa sekaligus pesan:
bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan, saling menjaga, dan saling melukai bila tak saling peduli.
Dari seorang seniman Ranau yang dibesarkan alam, mengalir sebuah harapan sederhana namun mendalam:
Agar Sumatera kembali pulih—dan Indonesia kembali belajar mencintai alamnya.
