Krisis Literasi di Kampus: Ketika Mahasiswa Kehilangan Esensi Intelektualnya
Fenomena memudarnya budaya membaca, menulis, dan berdiskusi di kalangan mahasiswa Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Generasi yang seharusnya menjadi ujung tombak intelektual bangsa kini terperangkap dalam pragmatisme sempit yang mengikis fondasi akademik mereka.
Membaca: Dari Buku Tebal ke Caption Singkat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mahasiswa hari ini lebih nyaman mengonsumsi informasi dalam bentuk ringkasan, video pendek, atau infografis ketimbang mendalami teks utuh. Mereka mengira bahwa membaca abstrak jurnal sudah cukup untuk memahami kompleksitas sebuah penelitian, atau mengandalkan review YouTube untuk “memahami” karya sastra klasik. Budaya instan ini menciptakan pemahaman yang dangkal dan fragmentaris, jauh dari kedalaman analitis yang dibutuhkan seorang sarjana.
Ironisnya, akses terhadap sumber bacaan justru semakin mudah dengan digitalisasi perpustakaan dan jurnal online. Namun kemudahan ini tidak diimbangi dengan motivasi untuk membaca secara mendalam. Mahasiswa lebih memilih shortcut daripada menikmati proses pembelajaran yang sesungguhnya.
Menulis: Kehilangan Suara Intelektual
Keterampilan menulis mahasiswa juga mengalami degradasi serius. Mereka terbiasa berkomunikasi dengan bahasa kasual media sosial hingga kesulitan menyusun argumen akademik yang koheren. Tulisan-tulisan mereka cenderung repetitif, minim analisis kritis, dan seringkali hanya menjadi kompilasi copypaste dari berbagai sumber tanpa sintesis yang bermakna.
Budaya plagiarisme yang mengakar memperburuk situasi ini. Mahasiswa lebih fokus pada hasil instan ketimbang proses berpikir yang menghasilkan karya orisinal. Mereka lupa bahwa menulis adalah proses pembelajaran itu sendiri, bukan sekadar formalitas akademik.
Berdiskusi: Monolog di Era Dialog
Ruang diskusi yang seharusnya menjadi laboratorium pemikiran kini berubah menjadi ajang adu argumen tanpa substansi. Mahasiswa enggan mendengarkan perspektif berbeda, lebih suka echo chamber yang mengkonfirmasi bias mereka. Diskusi akademik yang berkualitas membutuhkan kemampuan untuk mempertanyakan asumsi, mengakui keterbatasan argumen sendiri, dan membangun pemikiran secara kolektif – semua ini tampak menghilang.
Media sosial memperburuk kondisi ini dengan menciptakan ilusi bahwa like dan share adalah indikator validitas argumen. Kompleksitas isu-isu sosial direduksi menjadi statement hitam-putih yang mudah dicerna massa.
Dampak Sistemik: Melemahnya Fungsi Universitas
Krisis ini bukan sekadar masalah individual, tetapi mengancam fungsi universitas sebagai pusat pencerahan. Bagaimana universitas bisa melahirkan pemimpin yang visioner, peneliti yang inovatif, atau intelektual yang kritis jika mahasiswanya tidak memiliki fondasi literasi yang solid?
Dosen pun terjebak dalam dilema: menurunkan standar demi mengakomodasi kemampuan mahasiswa, atau mempertahankan standar tinggi dengan risiko tingginya tingkat kegagalan. Banyak yang memilih jalan tengah yang justru merugikan semua pihak.
Refleksi Kritis: Tanggung Jawab Bersama
Tentu saja, fenomena ini tidak terjadi dalam vakum. Sistem pendidikan yang menekankan hafalan daripada pemahaman, tekanan ekonomi yang memaksa mahasiswa bekerja sambil kuliah, dan budaya konsumtif yang mengutamakan gratifikasi instan semuanya berkontribusi pada krisis ini.
Namun, mahasiswa sebagai subjek dewasa tidak bisa sepenuhnya lepas dari tanggung jawab. Mereka memiliki agency untuk memilih apakah akan menjadi konsumen pasif atau intelektual aktif yang berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Universitas perlu kembali menegaskan misinya sebagai institusi pembelajaran, bukan sekadar pencetak ijazah. Mahasiswa pun harus menyadari bahwa gelar tanpa kemampuan berpikir kritis hanyalah kertas kosong di era yang menuntut adaptabilitas dan inovasi berkelanjutan.
Masa depan bangsa bergantung pada kemampuan generasi mudanya untuk berpikir mendalam, bukan sekadar mereaksi secara reaktif terhadap perubahan zaman.