Penetapan Deden Cahyono sebagai tersangka dalam kasus korupsi Dana Hibah Pilkada Kabupaten Mesuji 2024 senilai Rp347,7 juta bukanlah titik akhir, melainkan pintu pembuka untuk mengungkap kemungkinan jaringan korupsi yang lebih luas di Bawaslu Kabupaten Mesuji.
Ketika Kejaksaan Negeri Mesuji menetapkan Ketua Bawaslu Kabupaten Mesuji, Deden Cahyono, sebagai tersangka dalam kasus Korupsi Dana Hibah Pilkada tahun 2024, publik berharap ini adalah langkah tegas pemberantasan korupsi.
Namun, pertanyaan mendasar muncul, apakah mungkin kejahatan sebesar ini dilakukan sendirian oleh satu orang? Apakah tidak ada pihak lain yang terlibat dalam alur pencairan dan penggunaan dana ratusan juta rupiah tersebut?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Rifaldi Way Tegaga, Ketua Umum Gerakan Aktivis Kawal Reformasi (GAKAR) Lampung, mengemukakan keraguan yang sangat beralasan. Dalam struktur pengelolaan anggaran di lembaga pemerintah, khususnya Bawaslu, terdapat mekanisme checks and balances yang melibatkan berbagai pihak. Tidak mungkin dana hibah sebesar Rp347,7 juta bisa menguap begitu saja tanpa sepengetahuan atau keterlibatan pejabat lain yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan keuangan.
Posisi Strategis Koordinator Sekretariat yang Perlu Ditelusuri
Di sinilah pentingnya menyoroti peran Andre AL Rendra selaku Koordinator Sekretariat (Korsek) Bawaslu Kabupaten Mesuji. Posisi ini bukan posisi sembarangan dalam struktur pengelolaan keuangan negara. Sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Korsek memiliki kewenangan yang sangat strategis dalam:
1. Perencanaan penggunaan anggaran, termasuk Dana Hibah Pilkada.
2. Penandatanganan dokumen-dokumen pencairan, yang menjadi dasar keluarnya dana.
3. Pengawasan pelaksanaan kegiatan, yang didanai dari anggaran tersebut.
4. Pertanggungjawaban penggunaan dana, melalui laporan keuangan.
Dengan kapasitas sebesar ini, sangat sulit membayangkan bahwa ratusan juta rupiah dana negara bisa diselewengkan tanpa jejak administratif yang melibatkan pejabat dengan kewenangan KPA dan PPK. Mekanisme pencairan dana pemerintah dirancang berlapis justru untuk mencegah penyalahgunaan. Jika korupsi tetap terjadi, berarti ada celah dalam mekanisme tersebut atau ada keterlibatan dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi pengawas.
Kejaksaan Negeri Mesuji: Jangan Berhenti di Permukaan
Apresiasi patut diberikan kepada Kejaksaan Negeri Mesuji yang telah berani menetapkan Ketua Bawaslu sebagai tersangka. Namun, keberanian ini tidak boleh berhenti di situ. Masyarakat menuntut pengusutan tuntas, bukan sekadar menutup perkara dengan satu tersangka sebagai “tumbal” sementara pelaku lain, jika memang ada, jangan sampai luput dari jerat hukum.
Kejaksaan harus menelusuri:
1. Dokumen pencairan dana : Siapa saja yang menandatangani? Siapa yang menyetujui?
2. Alur perjalanan dana : Dari rekening mana ke rekening mana? Siapa yang mengaksesnya?
3. Pertanggungjawaban kegiatan : Apakah ada laporan fiktif? Siapa yang membuatnya?
4. Keterlibatan pejabat lain : Apakah ada komunikasi, instruksi, atau kesepakatan yang melibatkan lebih dari satu orang?
Investigasi yang setengah hati hanya akan menghasilkan keadilan yang setengah hati pula. Jika memang ada keterlibatan pihak lain, termasuk AAR selaku Koordinator Sekretariat, maka pemeriksaan mendalam harus segera dilakukan. Posisi sebagai KPA dan PPK memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyidik untuk memanggil dan memeriksa AAR guna mengklarifikasi perannya dalam pengelolaan dana hibah pilkada tersebut.
Bawaslu yang Mengawasi, Siapa yang Mengawasi Bawaslu?
Ironi terbesar dari kasus ini adalah bahwa lembaga yang seharusnya mengawasi jalannya demokrasi justru tersandung kasus korupsi. Bawaslu, sebagai pengawas pemilu, harus menjadi contoh integritas dan transparansi. Ketika kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas demokrasi runtuh, maka demokrasi itu sendiri yang terancam.
Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa tidak ada lembaga yang kebal dari potensi korupsi. Pengawasan eksternal yang ketat, audit yang transparan, dan keberanian aparat penegak hukum untuk mengusut sampai tuntas adalah kunci untuk menjaga akuntabilitas lembaga-lembaga negara.
Desakan untuk Kejaksaan Negeri Mesuji
Masyarakat Lampung, Kabupaten Mesuji khususnya, aktivis antikorupsi seperti GAKAR Lampung, dan publik luas mendesak Kejaksaan Negeri Mesuji untuk:
1. Tidak tergesa-gesa menutup perkara hanya dengan satu tersangka.
2. Memeriksa secara menyeluruh semua pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana hibah, termasuk Korsek.
3. Mengaudit trail keuangan secara detail untuk menemukan kemungkinan keterlibatan pihak lain.
4. Transparan dalam proses penyidikan agar publik bisa memantau dan memastikan tidak ada upaya perlindungan terhadap pihak tertentu.
5. Memproses siapa pun yang terbukti terlibat tanpa pandang bulu.
Keadilan bukan tentang mengorbankan satu orang untuk menutup kasus. Keadilan adalah tentang mengungkap kebenaran secara utuh dan memproses semua pelaku yang terlibat sesuai dengan porsi kesalahannya.
Kasus korupsi Dana Hibah Pilkada Mesuji adalah ujian bagi sistem penegakan hukum di daerah. Apakah kejaksaan akan puas dengan satu tersangka dan menutup perkara, atau akan menggali lebih dalam untuk memastikan tidak ada pelaku lain yang sujud syukur, ongkang ongkang kaki karena merasa lolos dari jerat hukum?
Masyarakat Mesuji dan Lampung menunggu jawaban itu. Bukan melalui retorika, tetapi melalui tindakan nyata berupa pemeriksaan menyeluruh terhadap semua pihak yang berpotensi terlibat, termasuk yang namanya kini mulai disorot, yakni AAR selaku Koordinator Sekretariat Bawaslu Kabupaten Mesuji.
Jika memang tidak terlibat, pemeriksaan akan membuktikannya. Tetapi jika terbukti terlibat, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Itulah yang dimaksud dengan penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Rakyat berhak mendapat keadilan yang utuh, bukan keadilan yang setengah-setengah.
Oleh : Rifaldi Way Tegaga (Ketua Umum GAKAR Lampung)








