Rapat Paripurna DPRD Provinsi Lampung kemarin menyajikan tontonan yang memalukan sekaligus menyakitkan bagi hati nurani rakyat Lampung. Dari 85 anggota dewan yang dibayar dengan uang rakyat, hanya 24 orang yang hadir, bahkan salah satunya sempat tertidur pulas di kursi yang seharusnya menjadi simbol kehormatan dan tanggung jawab.
Inilah wajah telanjang demokrasi kita: wakil rakyat yang lebih suka absen daripada hadir, lebih memilih tidur daripada bekerja, lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada amanah konstituen.
Matematika Pengkhianatan “61 Kursi Kosong”
Mari kita hitung dengan sederhana. Jika 85 anggota DPRD adalah representasi 100% suara rakyat Lampung, maka kehadiran 24 orang berarti hanya 28,2% rakyat yang terwakili dalam rapat paripurna tersebut. Dengan kata lain, 71,8% suara rakyat Lampung diabaikan, dilecehkan, dan dikhianati.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka ini bukan sekadar statistik kosong. Di balik setiap kursi kosong itu, ada ribuan konstituen yang telah memberikan kepercayaan politik mereka. Ada petani di Lampung Tengah yang mengharapkan aspirasinya diperjuangkan. Ada pedagang di Bandar Lampung yang membutuhkan kebijakan yang berpihak. Ada guru honorer di Lampung Timur yang menantikan nasibnya diperjuangkan.
Namun, apa yang mereka dapatkan? Kursi kosong dan janji hampa.
Fenomena Anggota Tidur “Simbol Ketidakpedulian”
Yang lebih mencoreng muka demokrasi Lampung adalah adanya anggota dewan yang tertidur saat rapat paripurna berlangsung. Ini bukan sekadar masalah fisik atau kelelahan—ini adalah manifestasi dari sikap mental yang sudah busuk: menganggap tugas sebagai wakil rakyat sebagai pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan sambil lalu.
Anggota dewan yang tertidur ini adalah representasi sempurna dari sindrom wakil rakyat yang sudah kehilangan rasa malu. Mereka lupa bahwa setiap menit mereka duduk di kursi dewan, mereka dibayar dengan uang pajak rakyat. Mereka lupa bahwa setiap keputusan yang diambil (atau tidak diambil) dalam rapat itu akan berdampak langsung pada kehidupan jutaan orang Lampung.
Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa menjaga kesadaran selama beberapa jam rapat bisa dipercaya untuk menjaga kepentingan rakyat selama lima tahun masa jabatan?
Absensi Massal “Indikator Krisis Sistem”
Tingkat absensi 71,8% ini bukan fenomena dadakan. Ini adalah gejala sistemik dari krisis representasi yang sudah mengakar dalam tubuh DPRD Provinsi Lampung. Ada beberapa kemungkinan penyebab yang sama-sama mengkhawatirkan:
Pertama, ketidakpedulian struktural. Banyak anggota dewan yang menganggap rapat paripurna sebagai formalitas belaka. Mereka pikir kehadiran mereka tidak berpengaruh signifikan, sehingga lebih memilih mengurus bisnis pribadi atau kepentingan politik lainnya.
Kedua, budaya impunitas. Tidak ada sanksi tegas bagi anggota yang sering absen. Sistem pengawasan internal DPRD lemah, dan masyarakat tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menuntut akuntabilitas wakil mereka.
Ketiga, kualitas agenda yang rendah. Ada kemungkinan rapat paripurna tersebut membahas agenda yang tidak substansial atau sudah basi, sehingga anggota merasa tidak perlu hadir. Namun, ini justru menunjukkan lemahnya perencanaan dan manajemen institusi DPRD.
Paralisis Kebijakan Daerah
Rendahnya kehadiran ini bukan hanya masalah simbolik, tetapi memiliki dampak nyata terhadap efektivitas pemerintahan daerah. Bagaimana DPRD bisa menghasilkan kebijakan yang berkualitas jika mayoritas anggotanya tidak hadir untuk berdiskusi dan berargumen?
Rapat paripurna adalah forum tertinggi untuk pengambilan keputusan strategis. Ketika mayoritas anggota absen, yang terjadi adalah:
- Dominasi minoritas: Keputusan penting diambil oleh segelintir orang yang hadir, bukan berdasarkan konsensus mayoritas.
- Kualitas debat yang rendah: Dengan sedikitnya peserta, diskusi menjadi tidak dinamis dan cenderung superfisial.
- Legitimasi keputusan yang lemah: Keputusan yang diambil dengan kehadiran minimal sulit diterima sebagai representasi kehendak rakyat.
- Preseden buruk: Absensi massal menciptakan budaya tidak bertanggung jawab yang akan menular ke generasi wakil rakyat selanjutnya.
Perbandingan DPRD vs Pekerja Biasa
Mari kita bandingkan dengan realitas pekerja biasa di Lampung. Seorang buruh pabrik yang terlambat 15 menit akan dipotong gajinya. Karyawan swasta yang bolos tanpa keterangan jelas akan mendapat sanksi disiplin. Guru yang sering tidak masuk kelas akan dikenai hukuman administratif.
Namun, anggota DPRD yang absen dari tugas pokoknya—menghadiri rapat paripurna—tidak mendapat sanksi apapun. Mereka tetap menerima gaji bulanan puluhan juta rupiah, tunjangan yang berlimpah, dan fasilitas mewah lainnya.
Ironi yang paling menyakitkan: para buruh, karyawan, dan guru tersebut gajinya jauh lebih kecil dari anggota DPRD, tetapi tingkat kedisiplinan mereka jauh lebih tinggi. Mengapa? Karena mereka masih memiliki rasa tanggung jawab dan malu.
Gejala Demokrasi Yang Sakit
Fenomena ini adalah indikator demokrasi lokal yang sedang sakit parah. Ada beberapa patologi politik yang terlihat jelas:
Pertama, politik transaksional. Banyak anggota dewan yang menjabat bukan karena idealisme atau komitmen pada pelayanan publik, tetapi karena investasi politik yang harus dikembalikan. Setelah terpilih, mereka fokus pada ROI (return on investment) ketimbang public service.
Kedua, lemahnya pengawasan publik. Masyarakat Lampung belum memiliki tradisi kontrol sosial yang kuat terhadap wakil mereka. Media lokal juga belum optimal dalam menjalankan fungsi watchdog terhadap kinerja DPRD.
Ketiga, sistem rekrutment yang cacat. Proses pencalonan legislatif masih didominasi oleh faktor uang dan kedekatan dengan elite partai, bukan berdasarkan kompetensi dan integritas. Hasilnya adalah wakil rakyat yang tidak qualified dan tidak committed.
Akuntabilitas Sekarang Juga
Rakyat Lampung tidak boleh diam melihat penghinaan terhadap demokrasi ini. Saatnya menuntut akuntabilitas konkret, bukan sekadar janji-janji manis yang selalu mengulang setiap lima tahun sekali.
Kepada Pimpinan DPRD: Publikasikan daftar nama 61 anggota yang absen beserta alasan ketidakhadiran mereka. Buat sistem sanksi progresif untuk anggota yang sering absen. Potong tunjangan dan fasilitas bagi mereka yang tidak menjalankan tugas dengan baik.
Kepada Partai Politik: Evaluasi internal terhadap kader-kader yang terbukti tidak amanah. Jangan biarkan mereka mencalonkan diri lagi pada pemilu berikutnya. Partai yang tidak bisa menjaga kualitas kadernya tidak layak mendapat kepercayaan rakyat.
Kepada Media dan LSM: Intensifkan monitoring terhadap kinerja DPRD. Buat papan skor kehadiran anggota dewan yang dipublikasikan secara berkala. Jadikan tingkat kehadiran sebagai indikator penilaian kinerja yang wajib diketahui publik.
Reformasi Sistem DPRD
Untuk mengatasi masalah ini secara permanen, diperlukan reformasi struktural yang komprehensif:
Pertama, sistem reward and punishment yang tegas. Buat aturan bahwa anggota yang absen lebih dari 25% dari total rapat dalam satu tahun akan kehilangan hak duduk di komisi dan mendapat pemotongan gaji 50%.
Kedua, transparansi total. Semua rapat DPRD harus dapat diakses publik secara live streaming. Daftar kehadiran harus dipublikasikan secara real-time di website resmi DPRD.
Ketiga, sistem recall yang efektif. Berikan hak kepada konstituen untuk menarik kembali mandatnya jika wakil mereka terbukti tidak menjalankan tugas dengan baik.
Keempat, profesionalisasi institusi. DPRD harus memiliki code of conduct yang jelas dan enforceabledengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.
Pesan Untuk 61 Anggota Yang Absen
Kepada 61 anggota DPRD Provinsi Lampung yang memilih absen dari rapat paripurna: kalian telah mengkhianati kepercayaan rakyat dengan cara yang paling telanjang. Kalian telah membuktikan bahwa jabatan wakil rakyat bagi kalian hanyalah titel kosong untuk meraih privilege dan prestise.
Jika kalian masih memiliki sisa-sisa hati nurani, kembalilah kepada tugas yang sesungguhnya. Hadiri setiap rapat dengan serius. Pelajari setiap agenda dengan mendalam. Berjuanglah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk perut sendiri.
Namun, jika kalian sudah terlanjur nyaman dengan ketidakpedulian ini, maka bersiaplah untuk menghadapi murka rakyat pada pemilu mendatang. Rakyat Lampung tidak sebodoh yang kalian kira. Mereka tahu siapa yang bekerja dan siapa yang hanya bermalas-malasan.
Momen Kebangkitan atau Kehancuran
Insiden memalukan ini sebenarnya bisa menjadi momen kebangkitan demokrasi Lampung jika direspons dengan tepat. Rakyat bisa menjadikan ini sebagai pembelajaran untuk lebih selektif memilih wakil mereka. Media bisa menjadikan ini momentum untuk mengintensifkan pengawasan terhadap DPRD. Civil society bisa menjadikan ini sebagai trigger untuk memperkuat kontrol sosial.
Namun, jika dibiarkan berlalu tanpa konsekuensi apapun, insiden ini akan menjadi preseden buruk yang akan terus berulang. Absensi massal akan menjadi hal yang normal. Tidur saat rapat akan dianggap sebagai hak prerogatif wakil rakyat. Dan pada akhirnya, demokrasi Lampung akan menjadi semakin jauh dari cita-cita founding fathers.
Pilihan ada di tangan kita semua: membiarkan demokrasi terus terdegradasi, atau bangkit menuntut akuntabilitas yang sesungguhnya.
Rakyat Lampung pantas mendapat wakil yang bekerja, bukan wakil yang tidur. Rakyat Lampung berhak mendapat pemimpin yang hadir, bukan pemimpin yang absen. Saatnya bersuara, saatnya bertindak, saatnya menunjukkan bahwa kedaulatan masih berada di tangan rakyat—bukan di tangan segelintir elite yang sudah kehilangan rasa malu.