Sebagai seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), saya melihat organisasi ini berada di persimpangan yang krusial. Di satu sisi, kita memiliki warisan sejarah panjang sebagai organisasi yang lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan dan selalu konsisten dalam advokasi kerakyatan. Di sisi lain, tantangan era digital menghadirkan kompleksitas baru yang menuntut adaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Era digitalisasi bukan sekadar soal teknologi, tetapi transformasi fundamental cara masyarakat berinteraksi, memperoleh informasi, dan membentuk opini. Hoaks, polarisasi, dan manipulasi digital telah menjadi ancaman nyata bagi kohesi sosial. Filter bubble dan echo chamber menciptakan fragmentasi sosial yang membahayakan persatuan bangsa. Di tengah kondisi ini, PMII tidak boleh hanya menjadi penonton.
Harapan saya adalah PMII dapat menjadi pioneer dalam literasi digital yang berbasis nilai-nilai Islam moderat. Organisasi ini harus mampu menerjemahkan konsep Islam rahmatan lil alamin ke dalam bahasa digital yang dapat dipahami generasi muda. Bukan dengan cara menolak teknologi, tetapi justru memanfaatkannya sebagai medium dakwah dan advokasi yang lebih efektif.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
PMII perlu mengembangkan platform digital sendiri yang tidak hanya menjadi ruang diskusi internal, tetapi juga pusat edukasi publik tentang isu-isu sosial kontemporer. Media sosial harus dioptimalkan bukan untuk popularitas semata, tetapi sebagai alat untuk menyebarkan narasi counter terhadap radikalisme, intoleransi, dan ketidakadilan sosial.
Dalam konteks advokasi, PMII harus memanfaatkan data analytics dan digital campaign untuk mengampanyekan isu-isu kerakyatan dengan lebih tepat sasaran. Crowdsourcing bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah grassroot yang membutuhkan perhatian. Teknologi blockchain bahkan bisa dieksplor untuk menciptakan sistem advokasi yang transparan dan akuntabel.
Namun, di balik semua inovasi digital ini, PMII tidak boleh kehilangan ruh perjuangannya. Konsistensi advokasi bukan terletak pada medium yang digunakan, tetapi pada komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial, pluralisme, dan pemberdayaan masyarakat. Era digital justru menuntut kita untuk lebih kreatif dalam mengemas pesan-pesan ini agar relevan dengan konteks zaman.
Saya berharap PMII dapat menjadi organisasi yang tidak hanya survive di era digital, tetapi justru thrive dan menjadi rujukan bagi organisasi kemahasiswaan lainnya. Dengan memadukan wisdom tradisional dan inovasi digital, PMII dapat membuktikan bahwa organisasi berideologi Islam dapat menjadi agen perubahan yang efektif di abad ini.
Tantangan memang berat, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa PMII selalu mampu beradaptasi tanpa kehilangan identitas. Kini saatnya kita membuktikan hal yang sama di era digital ini.
Maaf bukan sok sip, ini hanyalah sebuah harapan seorang kader yang tidak berharap banyak, hanya ingin organisasi yang dicintai nya tetap hidup dengan prinsip dan jati dirinya.